AGUS SUNYOTO: Manusia Nusantara

Manusia Nusantara

 Oleh: Agus Sunyoto

Nusantara menurut teori terletak di persimpangan tiga lempeng dunia, yang potensial menimbulkan terjadinya tekanan sangat besar pada lapisan kulit bumi, dengan akibat lapisan kulit bumi di Nusantara – pertemuan tiga lempeng dunia – tertekan ke atas membentuk hamparan-hamparan luas yang dikenal sebagai Paparan Benua Sunda dengan barisan gunung berapi dan pegunungan panjang yang di masa purbakala disebut sebagai Swetadwipa atau Lemuria. Hamparan luas Paparan Benua Sunda yang  awalnya berupa dataran dangkal itu,  pada Jaman Es ketika permukaan laut turun ratusan meter, terlihat mencuat di permukaan. Oleh karena terletak di persimpangan tiga lempeng dunia, wilayah ini sering diguncang gempa bumi hebat dan letusan gunung berapi yang dahsyat.

Pada jaman Glacial Wurm atau  Jaman Es akhir, yang berlangsung sekitar 500.000 tahun silam, es di kutub utara dan kutub selatan mencair  sehingga  air laut naik dan menimbulkan gelombang setinggi satu mil. Akibat naiknya air laut yang menggelombang hingga setinggi satu mil,  hamparan Paparan Benua  Sunda yang luas itu tenggelam ke dalam laut dan hanya dataran tinggi dan puncak-puncak vulkanis yang tersisa, yang belakangan sisa-sisa dataran yang tidak tenggelam tersebut dikenal sebagai Kepulauan Nusantara yang terdiri dari Paparan Sunda Besar dan Paparan Sunda Kecil, yang sambung-menyambung hingga Benua Australia.

Menurut Peta yang dihasilkan Southeast Asia Research Group di London, Kepulauan Nusantara dulunya  merupakan satu kesatuan dengan Benua Asia, tetapi daratannya yang rendah tenggelam ke dasar laut dan hanya gunung-gunung vulkanik dan daerah dataran tinggi bergunung-gunung yang tersisa menjadi pulau-pulau. Menurut teori Prof Arysio Nunes dos Santos – fisikawan nuklir dan ahli geologi asal Brazilia – Kepulauan Nusantara dulu merupakan bagian sisa dari Benua Atlantis yang tenggelam akibat peristiwa banjir besar yang terjadi pada akhirt Zaman Es, di mana peristiwa itu  terekam dalam cerita-cerita purba di berbagai belahan dunia tentang terjadinya banjir besar yang melanda dunia, yang menenggelamkan seluruh dataran rendah dan menyisakan dataran tinggi dan gunung-gunung berapi sebagai pulau-pulau.

Dalam peta geografi modern Nusantara terletak di persimpangan jalan antara Samudera India dan Samudera Pasifik, yang dalam jalur perdagangan tradisional menghubungkan Teluk Benggala dan Laut Cina. Kepulauan Nusantara membentang dari barat ke timur sejauh 5000 km dan dari utara ke selatan sejauh 2000 km, yang karena luasnya wilayah sampai terbagi dalam tiga wilayah waktu. Wilayah yang luas itu dihuni oleh lebih dari 300 suku dengan subsuku-subsukunya, dengan berbagai varian dan derivat bahasanya.  Oleh karena bagian terbesar wilayah Nusantara berupa laut, maka hubungan ekonomi dan kebudayaan dari penduduknya lebih sering terjalin dari satu  pantai ke pantai yang lain daripada dari daerah pedalaman ke daerah pedalaman lain, yang terpisahkan oleh rintangan geografis yang bergunung-gunung dan berhutan-hutan.

Manusia Penghuni   

Dalam kajian antropologi ragawi, Bangsa Nusantara memiliki sejarah yang sangat panjang. Eugene Dubois yang menemukan fosil manusia purba yang disebut Pithecanthropus Erectus, yang disusul temuan Homo Mojokertensis, Meganthropus Paleojavanicu, Homo Soloensis, dan Homo Wajakensis menunjuk rentangan waktu antara 1.000.000 – 12.000 tahun yang silam Nusantara sudah dihuni manusia. Menurut kajian Harry Widianto dalam Mata Rantai itu Masih Putus, keberadaan Homo Sapiens sebagai manusia modern yang serentak muncul di bumi sekitar 40.000 tahun lalu, sangat berbeda susunan morfologinya dengan Homo Erectus. Berdasar perbedaan morfologi Homo Sapiens yang hidup 40.000 tahun lalu dengan Homo Erectus yang hidup antara 300.000-200.000 tahun lalu, disimpulkan bahwa Homo Sapiens bukanlah perkembangan evolutif dari Homo Erectus.

Menurut data Lembaga Eijkman, Homo Erectus yang hidup di Pulau Jawa antara 1.000.000 – 100.000 tahun lalu telah punah. Yang kemudian  menghuni Kepulauan Nusantara adalah Homo Erectus asal Afrika yang datang sekitar 70.000 – 60.000 tahun lalu dan Homo Sapiens asal Asia yang datang sekitar 50.000 – 40.000 tahun lalu. Keturunan Homo Erectus asal Afrika ini  belakangan disebut ras Melanesia dan keturunan Homo Sapiens asal Asia ini belakangan disebut ras Austronesia.

Ras Melanesia

Ras Melanesia yang tersebar dalam berbagai varian suku-suku, sejak 70.000 tahun SM sudah menghuni Papua, Nugini, Australia, dan pulau-pulau di Pasifik seperti Bismarck, Solomon, New Caledonia, Fiji. Di masa lampau nenek moyang suku-suku Melanesia menghuni Pulau Jawa, yakni ras Proto Melanesia yang disebut Homo Wajakensis. Akibat mengalami pembauran dengan pendatang-pendatang baru yang terus mendesak wilayah hunian keturunan ras purba ini, sebagian mengungsi ke arah timur dan sebagian yang lain membaur dengan ras pendatang baru hingga identitas Melanesia mereka hilang. Sementara mereka yang mengungsi ke timur dan belum sempat mencapai Papua, terkejar east drift ras Austronesia (Melayu), dan dicampur-kawini. Keturunan mereka yang berdarah campuran Melanesia-Austronesia (Melayu)  inilah yang menghuni pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur, Timor Leste dan Maluku.  Demikianlah, dalam kajian antropologi ragawi dan etnologi  Kepulauan Nusantara secara umum dihuni oleh populasi dari dua ras utama, yaitu ras Austronesia dan ras Melanesia,  yang sebagian melakukan asimilasi menjadi ras Australo-Melanesia yang diperkirakan berkembang sekitar 10.000 tahun yang lalu.

Menurut Peter Bellwood  dalam Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, ras Australo-Melanesia purba sudah tinggal di kepulauan Indo-Malaysia. Mereka dapat dikatakan sebagai “saudara sepupu” dari populasi yang diturunkan oleh kelompok yang telah menetap di Australia dan Nugini sekitar 50.000 tahun yang lalu. Sebenarnya, wilayah yang luas dari Cina bagian selatan sampai ke Daratan Sunda ditinggali oleh suatu populasi yang ciri-cirinya berbeda secara bernuansa. Zona itu merupakan wilayah terjadinya perubahan bertahap secara geografis dalam frekuensi sifat-sifat genetik antara Australoid (cenderung kuat di selatan) dan Mongoloid (cenderung kuat di utara). Karena itu, manusia yang hidup di situ harus dianggap sebagai satu populasi, dan bukan dua populasi yang terpisah. Namun demikian, karena mereka hidup tersebar di zona garis lintang yang cukup luas, maka ada peluang untuk terjadinya seleksi alam di masing-masing tempat sehingga pada akhirnya menghasilkan populasi-populasi yang sangat berbeda.

Ras Austronesia

Ras Australoid yang juga disebut Mongoloid selatan berkembang lebih cepat dengan penyebaran lebih luas  dibanding ras Melanesia. Bahkan akibat penyebaran ras Australoid atau Mongoloid selatan yang luas, ras Melanesia terdesak hampir di semua pulau dan hanya menyisakan sedikit kelompok seperti orang Negrito di Taiwan, Malaysia, Filipina, Andaman, Polinesia, Hokkaido, Papua, dan pulau-pulau sekitarnya. Populasi-populasi Melanesia yang terpisah dari kelompok yang menghuni Australia dan Nugini, secara terus menerus mengalami evolusi menjadi kelompok yang beragam, dan mengalami perubahan-perubahan tertentu,yaitu semakin mungil wajah dan tengkoraknya, yang terjadi bersamaan dengan proses yang sama pada populasi-populasi Asia Tenggara Daratan. Sebagian perubahan itu terjadi akibat adanya aliran gen dari Kala Pleistosen dari populasi yang berasal dari utara (leluhur Mongoloid) yang didukung proses tekanan seleksi setempat. Yang pasti, kelompok-kelompok ini, secara fenotipe tetap digolongkan sebagai ras Australo-Melanesia.

Terjadinya perkawinan antara ras Australo atau Mongoloid selatan dengan ras Melanesia yang melahirkan ras baru Australo-Melanesia, telah menunjukkan terjadinya perubahan fisik mereka, di mana tanda-tanda Melanesia berupa kulit gelap, rambut keriting pekat dan ciri-ciri Melanesia telah pudar, demikian juga tanda-tanda Australo atau Mongoloid selatan yang ditandai kulit kuning, rambut lurus, gigi kecil,  dan mata sipit telah pudar, melebur  menjadi ras baru yang disebut Australo-Melanesia yang menyebar di Asia tenggara, yaitu ras yang kemudian disebut Proto-Melayu. Mengikuti perkembangan ras Proto-Melayu adalah lahirnya ras Deutro Melayu, yaitu ras Mongoloid dengan beberapa ciri Australo-Melanesia, yang menggunakan bahasa Austronesia (digunakan sekitar 2500 – 500 SM) yang merupakan perkembangan dari bahasa Proto- Austronesia (digunakan sekitar 4000-3000 SM). Ras Proto-Melayu, Deutro Melayu dan Melanesia inilah yang sampai saat ini  menjadi penghuni utama Kepulauan Nusantara. Sebagian besar di antara mereka yang tinggal di pesisir mengembangkan teknologi kelautan, yang memungkinkan mereka menjadi penghuni baru di berbagai kepulauan yang tersebar antara Samudera India dengan Samudera Pasifik, yang sebagian di antaranya dikenal sebagai ras Malayo-Polinesia.

Di kawasan Indo-Malaysia – yang terkenal dengan sebutan Kepulauan Nusantara – bagian terbesar penduduknya termasuk fenotipe Australo atau Mongoloid selatan, yang melebur dengan fenotipe Melanesia menjadi Australo-Melanesia yang sebarannya meluas sampai ke pulau-pulau Pasifik, Madagaskar  hingga benua Amerika. Ciri-ciri ras Mongolid yang terdapat pada ras Australo-Melanesia tampak pada fisiologi bayi-bayi ras campuran ini, yang bagian pantatnya terdapat bercak biru, yang kalau sudah dewasa bercak tersebut akan hilang sendiri. Hanya ras Mongoloid yang memiliki ciri khusus bercak biru pada pantat bayi.

Ras Proto dan Deutro Melayu

Dalam  perkembangan ilmu antropologi ragawi, melalui penelitian yang dilakukan C.G.H.Turner dan D.R.Swindlet – terutama dalam identifikasi fenotipe gigi dan tengkorak dengan berbagai perubahan evolutifnya — disimpulkan bahwa ras Australo atau Mongoloid selatan dengan ras Melanesia sebenarnya memiliki leluhur yang sama, di mana pada Kala Pleistosen Akhir leluhur dua ras tersebut menghuni Asia Tenggara. Daerah Asia Tenggara yang dianggap menjadi asal leluhur suku-suku purba  penghuni Nusantara adalah meliputi kawasan Campa (Vietnam), Teluk Tonkin, Yunnan di Tiongkok barat daya. Demikianlah, ras Australo atau Mongoloid selatan yang berbaur dengan ras Melanesia, yang leluhurnya sama menjadi ras baru yang disebut Australo-Melanesia, yang berkembang bersama ras Australo atau Mongoloid selatan, di mana yang belakangan ini  terbagi atas  ras Proto Melayu dan ras Deutro Melayu.

Seringnya terjadi bencana alam dan peperangan antar kelompok, menjadi faktor utama bagi ras Australo atau Mongoloid selatan untuk melakukan migrasi, meninggalkan daerah Yunnan di Asia Tenggara ke pulau-pulau Nusantara antara tahun 5000 – 3000 SM. Sebagian besar mereka tinggal di Pulau Kalimantan dan dikenal sebagai suku Dayak. Dalam proses migrasi bergelombang itu, ras Proto Melayu ikut  meninggalkan Asia Tenggara menuju ke pulau-pulau di Nusantara. Gelombang pertama migrasi ras Proto Melayu ke Nusantara diperkirakan berlangsung sekitar tahun 1500-500 SM, yaitu saat orang-orang Mongolid dari utara menyerbu wilayah yang dihuni rasa Proto Melayu di sepanjang Sungai Irawadi, Salween dan Mekong. Yang ikut terdesak dalam serbuan ras Mongolid utara itu adalah suku Sham, yang merupakan ras Palae Mongolid. Suku Shan inilah yang menjadi leluhur orang-orang Siam, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Dayak.

Ras Proto Melayu semula adalah orang-orang pegunungan yang  suka mengasingkan diri dan cenderung  menolak hubungan dengan dunia luar. Namun akibat serbuan orang-orang Mongolid utara dan kemudian suku Shan, orang-orang Proto Melayu terdesak sampai ke pantai. Karena tidak terbiasa hidup di pantai, orang-orang Proto Melayu ini kemudian melakukan migrasi  dengan menyeberangi laut, mencari hunian baru. Ras Proto Melayu yang menyebar ini di antaranya suku Bontoc dan Igorot di Filipina, suku Tayal di Taiwan, suku Toraja di Sulawesi, suku Ranau di Sumatera selatan, suku Wajo yang menyebar dari kepulauan Lingga hingga ke pulau Cebu di Filipina, suku Karen di perbatasan Burma dan Thailand, suku Meo yang tersebar dari perbatasan Burma hingga ke  Chiangmai Thailand.

Akibat migrasi ras Proto Melayu ini, ras Melanesia yang lebih dulu tinggal di pulau-pulau Nusantara terdesak ke pedalaman di kawasan timur Nusantara. Antara tahun 300-200 SM, terjadi migrasi gelombang berikutnya dari ras Deutro Melayu, yang dengan cepat membaur dengan ras Proto Melayu. Keturunan hasil pembauran Proto Melayu dengan Deutro Melayu itulah yang menjadi penghuni utama Kepulauan Nusantara di samping ras Melanesia. Menurut Harold Foster dalam Flowering Lotus: A View of Java in the 1950s, suku-suku dari ras Melayu di Nusantara secara umum terbagi atas dua bagian besar. Pertama,  suku-suku Proto Malayan seperti Batak, Toraja, Karen, Igorot, Bontoc, Ranau, Meo, Tayal, Wajo. Asal leluhur suku Proto Malayan di kawasan pegunungan yang terletak di perbatasan Burma dan Thailand.  Kedua, suku-suku Neo Malayan (Deutro Melayu) seperti suku Jawa, Bugis, Aceh, Minangkabau, Sunda, Madura, Bali, dan lain-lain. 

(Agus Sunyoto, Wakil Ketua PP LESBUMI NU)

Kepustakaan

Bartstra, G.J, S.G.Keates, Basoeki, & Bahru Kallupa, “on the dispersion of

Homo Sapiens in eastern Indonesia: The Palaeolithic of South

Sulawesi”, Current Anthropology, 32:  p.317-320.

Bellwood, Peter., Man’s Conquest of the Pasific, The Prehistory of South-

east Asia and Oceania, Auckland: William Collins Publishing, 1978.

______________, Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia (edisi revisi),

Jakarta: PT.Gramedia, 2000.

Pookajorn, S., “Hoabinhian cave excavation in Bao Kao District, West

Thailand,” dalam I & E. Glover (ed.), Southeast Asian Archaeology

1986, p. 11-28, Oxford: BAR International Series 561.

Sukendar, H., “Laporan penelitian kepurbakalaan Daerah Lampung”

dalam Berita Penelitian Arkeologi 20 &  “Laporan penelitian

kepurbakalaan di Sulawesi Tengah”, dalam Berita Penelitian

Arkeologi 25, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

AGUS SUNYOTO: Jejak Dakwah Islam Cina di Nusantara

Islam  sudah masuk ke Indonesia sejak pertengahan abad ke-7 Masehi, sejaman dengan era Khalifah Utsman bin Affan berkuasa. Semangat penyebaran Islam, dipicu oleh hadits  Nabi Muhammad Saw yang berbunyi,”Sampaikan apa yang dari aku sekalipun satu ayat (balighu ani walau ayatan)”. Sejarah mencatat, yang paling awal membawa seruan Islam ke Nusantara adalah para saudagar Arab, yang sudah membangun jalur perhubungan dagang dengan Nusantara jauh sebelum Islam (Wheatley, 1961). Sebuah kasus kehadiran seorang saudagar Arab (tazhi) pada masa  Ratu Simha  di Kerajaan Kalingga, diberitakan sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang yang melaporkan bagaimana akibat ulah seorang saudagar Arab membawa akibat kaki putera mahkota Kalingga dipotong  (Groeneveldt, 1960).

S.Q. Fatimy (1963) mencatat bahwa pada abad ke-9 Masehi, terdapat migrasi suku-suku dari Persia ke Indonesia yaitu suku Lor, Yawani dan Sabangkara. Orang-orang Lor mendirikan pemukiman-pemukiman di pantai utara Pulau Jawa yang disebut Loram atau Leran. Terdapatnya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah di Leran, Gresik, yang menunjuk kronogram abad ke-10 Masehi adalah bukti kebenaran berita tersebut. Terdapatnya makam tua di Ngantang yang dikenal sebagai makam Eyang Saga Lor, yang diyakini lebih tua dari era Walisongo menunjuk pula pada keberadaan suku Lor asal Persia di Jawa. Bahkan kisah tokoh legendaris Syaikh Subakir yang dihubungkan dengan Persia, menunjuk pada terjadinya hubungan antara Jawa dengan Persia.

Pengaruh Cina di Nusantara dalam agama dan budaya, kurang cukup signifikan selain daripada perniagaan laut yang mulai tercatat sejak abad ke-5 Masehi. Pengaruh Cina di Nusantara justru  berkaitan dengan Agama Islam yang masuk ke Cina dan dianut penduduk Cina pada pertengahan abad ke-7 Masehi. Menurut Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History,  kontak perdagangan antara Arab dan Canton sudah terjadi sekitar tahun 600 Masehi, melalui Selat Malaka. Namun Islam baru dianut oleh penduduk Cina pada pertengahan abad ke-8, yaitu saat putera mahkota Su Tsung putera kaisar Hsuan Tsung pada 756 M meminta bantuan kepada Khalifah Al-Manshur dari Abbasiyyah untuk mengatasi pemberontakan yang menggulingkan tahta kaisar dan telah menguasai kota Si-ngan-fu dan Ho-nan-fu. Dengan bantuan pasukan Arab, Su Tsung berhasil merebut kedua kota utama dan menghancurkan kekuatan para pemberontak. Setelah perang berakhir, pasukan Arab dikisahkan tidak kembali ke negerinya melainkan menetap di Cina. Meski sempat terlibat konflik dengan gubernur Canton yang memaksa mereka beralih agama, kaisar akhirnya membolehkan mereka untuk tinggal di Cina dan bahkan memberi anugerah tanah dan rumah di berbagai kota di mana mereka menetap dan menikahi perempuan-perempuan setempat.

Selama masa pemerintahan Dinasti Tang (619-907), kota Quanzhou di provinsi Fujian terkenal sebagai pelabuhan dagang dan pusat penyebaran Islam di Tiongkok selatan. Di Quanzhou terdapat masjid-masjid tertua di Tiongkok dan makam muslim kuno yang batu nisannya terukir huruf Arab dan Persia. Sekitar  tahun 713-742 sudah dicatat kehadiran orang-orang Arab yang membawa kitab suci untuk hadiah kepada kaisar Tang. Sejak masa itu, ajaran agama dari negeri asing itu bercampur dengan ajaran agama pribumi Cina.

Mas’udi mencatat bahwa pada pertengahan abad ke-9, Canton sudah menjadi kota yang dihuni masyarakat muslim yang sebagian adalah saudagar-saudagar dari Basrah, Siraf, Oman, dan kota-kota pelabuhan India. Namun akibat serangan pemberontak Huang Chao pada 879 M, tidak kurang dari 200.000 orang Muslim,Yahudi, Majusi, Kristen  tewas oleh senjata atau tenggelam dalam air ketika lari dikejar-kejar para pemberontak. Meski hancur, masyarakat Islam Canton tidak punah sama sekali. Perlahan-lahan masyarakat dagang muslim bangkit lagi dan belakangan bahkan menyebar dari Canton ke Propinsi Yangchouw dan Chanchouw.

Pada saat Khubilai Khan berkuasa tahun 1275 M, ia memberi semacam kebebasan dan kepercayaan kepada orang-orang Islam dari Turkestan di Asia Tengah untuk keluar masuk negeri Cina. Orang-orang Turk Islam asal Balkh, Bukhara, Samarkand yang dipercaya itu selain beroleh kedudukan yang cukup baik juga ada yang menduduki jabatan menteri di istana kaisar. Orang-orang asal Turkestan inilah yang mengembangkan dakwah Islam di berbagai tempat di wilayah kekuasaan Khublai Khan, termasuk di Campa yang ditaklukkan panglima muslim bernama Hasanuddin, kepercayaan Khublai Khan.

Pengaruh Islam dari Cina yang tidak boleh dilewatkan adalah yang berhubungan dengan kunjungan Laksamana Cheng Ho ke Nusantara yang dimulai tahun 1405 M, di mana sebelum ke Jawa singgah terlebih dulu ke Samudera Pasai menemui Sultan Zainal Abidin Bahiansyah dalam rangka membuka hubungan politik dan perdagangan. Tahun 1405 M itu, sewaktu di Jawa, juru tulis Laksamana Cheng Ho menemukan komunitas masyarakat muslim Tionghoa di Tuban, Gresik dan Surabaya dengan rincian masing-masing berjumlah seribu keluarga. Pada tahun 1407 M, Laksamana Cheng Ho singgah di Palembang, menumpas para perompak Hokkian dan kemudian membentuk masyarakat muslim Tionghoa di perantauan. Cheng Ho membentuk masyarakat muslim Tionghoa  di Sambas, Kalimantan barat tahun 1407 M itu juga.

Dalam pelayaran ke selatan, Cheng Ho diketahui mengajak kaum muslim. Sejumlah nama tokoh muslim yang ikut dalam pelayaran Cheng Ho adalah Ma Huan, Guo Chongli, Hasan, Sha’ban, Pu Heri. Ma Huan dan Gou Chongli adalah ahli bahasa Arab dan Persia, yang bertugas sebagai penerjemah.  Hasan adalah ulama dari masjid Yang Shi di kota Xian di Provinsi Shan Xi. Sha’ban adalah orang asal Calicut di India.

Di dalam historiografi seperti  naskah  Nagarakretabhumi sarga III dan IV disebutkan bahwa penyebar Islam di Karawang, Syaikh Hasanuddin, adalah putera Syaikh Yusuf Siddik asal negeri Campa. Ia  datang ke Jawa  bersama armada Cina yang dipimpin panglima besar Wai-ping dan laksamana Te Ho (Cheng Ho). Syaikh Hasanuddin turun dari kapal dan tinggal di Karawang. Setelah menurunkan Syaikh Hasanuddin di Karawang, armada Cina dikisahkan ke Bandar Muara Jati di Cirebon, menjalin persahabatan dengan Sahbandar Ki Gedeng Tapa dan membangun menara (mercu suar) di pantai Muara Jati.

         Di Karawang Syaikh Hasanuddin dikisahkan  menikah dengan gadis bangsawan Karawang bernama Nay Retna Parwati dan mendirikan pesantren di Tanjung Pura. Pendirian pesantren  diperkirakan pada tahun 1418 Masehi, yaitu setahun setelah kunjungan armada Cina di bawah laksamana Cheng Ho yang ke-5 pada 1417 Masehi. Dengan cara dakwah yang simpatik melalui uraian Agama Islam yang mudah difahami dan terutama keindahan suaranya dalam melantunkan Al-Qur’an, penduduk setempat banyak yang tertarik dan dengan sukarela  mengikrarkan diri masuk Islam. Karena keindahan suaranya dalam membaca Al-Qur’an, Syaikh Hasanuddin kemudian dikenal dengan sebutan Syaikh Quro atau Syekh Kuro, yang bermakna Ahli Membaca Al-Qur’an. Bertolak dari kisah Syaikh Hasanuddin, dapat diasumsikan bahwa ulama asal Campa tersebut sengaja diturunkan oleh laksamana Cheng Ho dengan tujuan untuk menyebarkan dakwah Islam di Jawa.
               Di dalam Naskah Nagarakretabhumi sarga III disebutkan bahwa Syaikh Hasanuddin memiliki putera bernama Syaikh Bentong, yang menikah dengan seorang muslimah Cina bernama Siu The Yo. Syaikh Bentong dikenal sebagai juragan yang kaya raya dan tinggal di Gresik. Syaikh Bentong memiliki puteri bernama Nay Retna Siu Ban-ci diperisteri Prabhu Brawijaya V Raja Majapahit, yang menurunkan Raden Patah Sultan Demak. Jika sumber naskah Nagarakretabhumi ini otentik, berarti Syaikh Hasanuddin atau Syaikh Quro Karawang adalah kakek buyut Raden Patah Sultan Demak dari galur ibu. Demikianlah, karena dianggap sebagai peletak dakwah Islam pertama di Jawa barat, makam Syaikh Hasanuddin sampai sekarang dijadikan salah satu peziarahan yang penting oleh umat Islam yang datang dari berbagai penjuru daerah di  Nusantara.
               Kisah usaha dakwah Islam yang dihubungkan dengan kedatangan armada Cheng Ho, terekam pula dalam kisah pendaratan Cheng Ho di Semarang karena wakilnya yang bernama Wang Jinghong (Ong King Hong) sakit keras. Setelah dirawat secukupnya, Wang Jinghong ditinggal di Semarang dengan dilayani 10 orang awak kapal. Setelah sembuh, Wang Jinghong bersama pelayan-pelayannya tinggal di Semarang dan menikah dengan perempuan setempat. Sebagai muslim, Wang Jinghong giat mendakwahkan Islam di daerahnya. Wang wafat dalam usia 87 tahun. Jenazahnya dikubur secara Islam. Dia digelari sebutan Kyai Jurumudi Dampo Awang. Sampai sekarang, makam Wang Jinghong ramai diziarahi orang.
               Dalam legenda rakyat Betawi, dituturkan kisah pendaratan Cheng Ho di pelabuhan Tanjung Mas di Sunda Kelapa. Pada saat Cheng Ho turun, awak kapalnya banyak yang ikut turun ke darat. Salah seorang di antaranya adalah juru masak bernama Sam Po Soei Soe. Pada saat menonton tarian ronggeng, Sam Po Soei Soe terpikat oleh gadis Betawi yang menari, yaitu Sitiwati. Keduanya lalu sepakat menikah. Sam Po Soei Soe memutuskan tidak ikut armada Cheng Ho tetapi tinggal di Betawi dengan Sitiwati.

Pengaruh muslim Tionghoa dalam penyebaran Islam, setidaknya terlihat pada bukti-bukti arkeologi di mana pada masjid-masjid kuno yang dibangun pada perempat akhir abad ke-15 seperti Masjid Agung Demak, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Kudus dindingnya banyak ditempeli piring porselen dari Dinasti Ming. Keberadaan muslim Tionghoa dalam kaitan dengan perkembangan dakwah Islam, telah dicatat di dalam Babad ing Gresik yang menuturkan bahwa sewaktu Sunan Dalem (Sunan Giri II) diserang balatentara dari Sengguruh, yang membantu Sunan Dalem menghadang pasukan Sengguruh di Lamongan adalah Prajurit Patangpuluhan Tionghoa bersenjata api pimpinan Panji Laras dan Panji Liris. Meski kalah dan kemudian mundur, pasukan muslim Tionghoa Gresik tetap mengawal Sunan Dalem saat mengungsi ke Gumeno. Pasukan muslim Tionghoa Gresik itu, dicatat pula kepahlawanannya sewaktu membela Panembahan Agung (cucu buyut Sunan Giri) dari serangan pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Pekik dan permaisurinya, Ratu Pandansari. Pada saat pasukan muslim Tionghoa kalah karena jumlahnya tidak seimbang, pemimpinnya yang bernama Endrasena, ditangkap dan dipenggal oleh pasukan Mataram.

Pada saat penguasa Giri dipegang Pangeran Mas Witono, putera Panembahan Agung, dicatat bahwa ia telah mengangkat seorang muslim Cina bernama Kertilaksana menjadi penguasa di Gresik selatan. Hubungan para penguasa Giri dengan muslim Cina semenjak jaman Sunan Giri, tampaknya berlangsung dari generasi ke generasi. Ikatan untuk saling bela itu, tampaknya lebih disebabkan karena faktor agama.

SIKAP KEBUDAYAAN LESBUMI NU

Realitas kebudayaan kita akhir-akhir ini sedang berada pada posisi yang terus mengalami pengasingan—ditinjau dari keberadaanya yang kurang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan baik pada wilayah politik, ekonomi, sosial, maupun intelektual. Kebudayaan juga berada pada kondisi yang terus mengalami pemiskinan—ditinjau dari kemerosotan, pendangkalan, dan penyempitan baik definisi, bobot, maupun cakupannya dalam kehidupan secara umum. Krisis keindonesiaan yang sekarang ini mendera bangsa kita, basisnya adalah krisis kebudayaan ini.

Posisi dan kondisi kebudayaan tersebut tercipta sebagai akibat dari praktik dominasi yang dilakukan oleh tiga kekuatan utama:

  1. Kekuatan kapitalisme pasar yang menilai kebudayaan dari sudut pandang pragmatisme pasar dan melakukan komodifikasi terhadap kebudayaan (baik kebudayaan sebagai khazanah pengetahuan, sistem-nilai, praktik dan tindakan, maupun benda-benda hasil ekspresi budaya), sehingga manusia ditempatkan sebagai objek ekonomi dan bukan subjek daripadanya.
  2. Kekuatan negara yang menempatkan kebudayaan sebagai lebih sebagai alat pendukung kekuasaan (legitimasi politik), dan menempatkannya sebagai benda mati serta menjadikannya sebagai komoditas pariwisata untuk mengumpulkan devisa, yang artinya negara telah menempatkan dirinya sebagai sub-kapitalisme pasar dalam kaitannya dengan kebudayaan dan bukan menempatkan kebudayaan sesuai definisi dan perannya yaitu sebagai kumpulan pengetahuan, makna, nilai, norma, dan praktik serta berbagai materi yang dihasilkannya (atau singkatnya kebudayaan sebagi formula bagaimana suatu masyarakat melangsungkan kehidupannya).
  3. Kekuatan formalisme agama yang menempatkan kebudayaan bukan sebagai energi sosial yang menjadi penopang tumbuh-berkembangnya harkat manusia sebagai khalifah fil ardl, sehingga tidak diperhitungkan secara proporsional dalam pengambilan keputusan hukum oleh para pemegang otoritas keagamaan, dan dalam kadar tertentu mereka justru menempatkan kebudayaan sebagai praktik yang “menyimpang” dari ketentuan hukum yang mereka anut tersebut.

Atas  dasar itu, untuk mengembalikan harkat kebudayaan sebagai artikulasi pemuliaan manusia dan prosesnya untuk mencapai integritas kemanusiaannya, sebagai arena penegasan dan pengembangan jati diri kebangsaan Indonesia,  kami merasa perlu mengambil sikap kebudayaan sebagai berikut:

  1. Menolak praktik eksploitasi terhadap kebudayaan oleh kekuatan ekonomi pasar yang memandang para pelaku budaya beserta produknya berada di bawah kepentingan mereka.
  2. Mengembalikan kesenian ke dalam tanggungjawab dan fungsi sosialnya. Dalam hal ini seniman melakukan kerja artistiknya dengan cara melibatkan diri dengan masyarakat, untuk mengungkap, menyampaikan, dan mentransformasikan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat melalui karya seni yang mereka ciptakan dengan melakukan eksplorasi estetika yang seluas dan sekomunikatif mungkin.
  3. Menolak kecenderungan karya seni yang memisahkan diri dari masyarakat dengan berbagai alasan yang dikemukakan, entah berupa keyakinan adanya otonomi yang mutlak dalam dunia seni yang artinya seni terpisah dari masyarakat, maupun universalitas dalam suatu karya seni yang artinya karya seni terbebas dari ikatan relativisme historis suatu masyarakat.
  4. Memperjuangkan kebudayaan (baik sebagai khazanah pengetahuan, nilai, makna, norma, kepercayaan, dan ideologi suatu masyarakat; maupun–terlebih–sebagai praktik dan tindakan mereka dalam mempertahankan dan mengembangkan harkat kemanusiaannya, lengkap dengan produk material yang  mereka hasilkan) sebagai faktor yang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan negara, sehingga kebudayaan dapat menjadi kekuatan yang menentukan dalam setiap kebijakan yang mereka putuskan.
  5. Membuka ruang kreativitas seluas mungkin bagi para seniman, baik tradisional, modern, maupun kontemporer, yang mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan kesenian yang disebabkan oleh kebijakan politik dan birokrasi negara, dominasi pasar, maupun kekuatan formalisme agama.
  6. Merumuskan dan mengembangkan “fiqh kebudayaan” yang mampu menjaga, memelihara, menginspirasi dan memberi orientasi bagi pengembangan kreativitas masyarakat pada wilayah kebudayaan dalam rangka pemenuhan kodratnya sebagai khalifah fil ardl dan sekaligus warga masyarakat-bangsanya.
  7. Keindonesiaan adalah tanah air kebudayaan kami. Oleh karena itu, di dalam dinamika kesejarahannya, ia menjadi titik pijak kreatifitas kami, Realitasnya yang membentang di hadapan kami, menjadi perhatian dan cermin bagi ekspresi dan karya-karya. Kami ingin tanah air kebudayaan kami menjadi subur oleh tetes-tetes hujan keringat estetik bangsa ini.

Sikap Kebudayaan ini Diputuskan pada Muktamar Kebudayaan NU I di Pesantren Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta, pada Senin,1 Februari 2010, pukul 22.39 wib. kemudian dibahas kembali  dalam Rapat Kerja Lesbumi di Jakarta Tanggal 26 Agustus 2010 untuk ditetapkan menjadi sikap kemudayaan  LESBUMI NU.

 

Ditetapkan di Jakarta

Tanggal 26 Agustus 2010